KOMPAS.com - Mendung memayungi langit Solo, Senin (24/1/2011), siang. Tak terkecuali di Kedai Kopi, yang berada di Jl Radjiman, Laweyan. Siang kelabu itu, saya duduk bersama kawan-kawan saya. Beberapa pria dan wanita berusia 25-an tahun. Kami duduk di atas sofa-sofa empuk yang diatur menyebar. Ada seperangkat sofa yang berada di pojok ruangan, ada di samping dekat dengan pintu keluar, ada juga di tengah ruangan. Bersama kami, juga ada seorang akademisi dari UNS Solo, Sutanto. Dia bercerita. Cerita yang disampaikannya lugas, namun membuat saya menelan ludah. Cerita itu membuat kopi saya terasa kian pahit. Sutanto mengajak kami membandingkan dua hal, antara polemik pemblokiran blackberry (BB) dengan kisah para petani kunyit yang kesulitan memenuhi permintaan ekspor kunyit kering. Sutanto menorehkan pertanyaan besar di kepala kami, mengapa pemerintah negeri ini justru lebih sibuk mengurusi pengguna BlackBerry (BB) yang paling pol jutaan ketimbang menangani permasalahan mendasar di kalangan petani kunyit? Cerita itu berawal, ketika pemerintah mengkhawatirkan pengguna BB akan dengan mudah mengakses situs porno dengan kecanggihan information and comunication technology (ICT) dalam gadget tersebut. Gara-gara itu, pemerintah sampai repot-repot mengirim surat ke RIM (Research In Motion) sebagai penyedia layanan BlackBerry dan bersikap sok garang dengan memberi deadline pemenuhan tuntutan. Padahal, di belahan bumi lain, masih di Tanah Air tercinta tentunya, ada 64 persen penduduk Indonesia yang totalnya mencapai 220 juta-250 juta jiwa, yang jauh dari akses ICT. Mengapa pemerintah tidak fokus memikirkan bagaimana ICT ini bisa mendukung pengembangan masyarakat? Sometimes the most important aspects of a subject are not immediately obvious. Keep reading to get the complete picture.
Sutanto memberikan fakta, betapa banyak peluang pengembangan masyarakat yang akhirnya gagal lantaran mereka buta pada ICT. Contohnya, ada permintaan ekspor kunyit kering secara rutin 8 ton dalam tiga pekan. Para petani di satu daerah mengaku tak mampu memenuhi permintaan itu karena lahan terbatas. Sutanto berangan, seandainya pemerintah bisa membawa ICT masuk desa, tentu banyak petani kunyit di desa lain. Jika diakumulasikan, besar kemungkinan jumlah produksi kunyit kering Tanah Air bisa melebihi 8 ton per tiga pekan. "Kalau petani di desa melek ICT, dengan mudah mereka akan mengontak kawan mereka di desa atau wilayah lain dan bersama-sama mengumpulkan kunyit kering untuk dikirim ke Perancis dan Vietnam, dua negara yang meminta kiriman kunyit kering. Tapi ke mana pemerintah? Sibuk mengurus pemakai BB? Berapa sih pemakai BB di Tanah Air?" Penjelasan dosen itu membuat saya miris. Entah, apa yang akan terjadi dengan negara ini ke depan. Saat seharusnya pemerintah menjadi agen untuk pengembangan masyarakat dengan menyediakan fasilitas, pemegang otoritas negeri ini justri fokus pada hal-hal yang sepela. Yang mudahnya, tak perlu sekelas menteri turun tangan dan sampai-sampai harus bernyanyi di jejaring sosial. Saya pun tak tahu apa yang harus saya katakan menanggapi kisah ini. Sungguh sedih, melihat bagaimana ironi BB dan kunyit kering terjadi di depan mata, tanpa bisa berbuat apa-apa. Kalau pemerintah diam, lantas siapa yang harus bergerak? Rasanya benar jika di akhir ceritanya, Sutanto menegaskan bukan masanya lagi bergantung pada pemegang otoritas negeri ini. Sudah saatnya kalangan swasta mengambil peran dalam upaya mengentaskan 64 persen penduduk Tanah Air dari permasalahan miskin teknologi plus miskin harta benda. Pengelola provider sudah semestinya bergerak ke masyarakat memberikan sedikit sumbangsih agar makin banyak masyarakat, khususnya kalangan petani, mengenal dan mendapatkan akses terhadap ICT. Pembangunan tower, tampaknya sudah saatnya diarahkan ke pedesaan. Pertanyaannya sekarang, sanggupkah para pengelola provider itu mengesampingkan tujuan mengeruk kekayaan demi kemajuan masyarakat? Meninggalkan penggalian ide bagaimana menjatuhkan provider lain dengan iklan-iklan provokatif dan menggantinya dengan mendulang gagasan untuk melebarkan akses ICT bagi masyarakat pedesaan? Nah, kita tunggu saja, dari mana penyelamat bangsa itu akan muncul. (KOMPASIANA/Sekar Arum)
Sutanto memberikan fakta, betapa banyak peluang pengembangan masyarakat yang akhirnya gagal lantaran mereka buta pada ICT. Contohnya, ada permintaan ekspor kunyit kering secara rutin 8 ton dalam tiga pekan. Para petani di satu daerah mengaku tak mampu memenuhi permintaan itu karena lahan terbatas. Sutanto berangan, seandainya pemerintah bisa membawa ICT masuk desa, tentu banyak petani kunyit di desa lain. Jika diakumulasikan, besar kemungkinan jumlah produksi kunyit kering Tanah Air bisa melebihi 8 ton per tiga pekan. "Kalau petani di desa melek ICT, dengan mudah mereka akan mengontak kawan mereka di desa atau wilayah lain dan bersama-sama mengumpulkan kunyit kering untuk dikirim ke Perancis dan Vietnam, dua negara yang meminta kiriman kunyit kering. Tapi ke mana pemerintah? Sibuk mengurus pemakai BB? Berapa sih pemakai BB di Tanah Air?" Penjelasan dosen itu membuat saya miris. Entah, apa yang akan terjadi dengan negara ini ke depan. Saat seharusnya pemerintah menjadi agen untuk pengembangan masyarakat dengan menyediakan fasilitas, pemegang otoritas negeri ini justri fokus pada hal-hal yang sepela. Yang mudahnya, tak perlu sekelas menteri turun tangan dan sampai-sampai harus bernyanyi di jejaring sosial. Saya pun tak tahu apa yang harus saya katakan menanggapi kisah ini. Sungguh sedih, melihat bagaimana ironi BB dan kunyit kering terjadi di depan mata, tanpa bisa berbuat apa-apa. Kalau pemerintah diam, lantas siapa yang harus bergerak? Rasanya benar jika di akhir ceritanya, Sutanto menegaskan bukan masanya lagi bergantung pada pemegang otoritas negeri ini. Sudah saatnya kalangan swasta mengambil peran dalam upaya mengentaskan 64 persen penduduk Tanah Air dari permasalahan miskin teknologi plus miskin harta benda. Pengelola provider sudah semestinya bergerak ke masyarakat memberikan sedikit sumbangsih agar makin banyak masyarakat, khususnya kalangan petani, mengenal dan mendapatkan akses terhadap ICT. Pembangunan tower, tampaknya sudah saatnya diarahkan ke pedesaan. Pertanyaannya sekarang, sanggupkah para pengelola provider itu mengesampingkan tujuan mengeruk kekayaan demi kemajuan masyarakat? Meninggalkan penggalian ide bagaimana menjatuhkan provider lain dengan iklan-iklan provokatif dan menggantinya dengan mendulang gagasan untuk melebarkan akses ICT bagi masyarakat pedesaan? Nah, kita tunggu saja, dari mana penyelamat bangsa itu akan muncul. (KOMPASIANA/Sekar Arum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar