Persoalan Ahmadiyah belum kunjung usai. Kini muncul lagi persoalan lain yang masih berkait dengan agama. Setelah Perristiwa Cikeusik, Temanggung, peristiwa di Purworejo muncul. Untuk menelisik lebih jauh, apakah gerangan yang sedang terjadi dengan bangsa ini menyangkut "keberislaman" masyarakat kita, pada Sabtu (12/2) di Jakarta, saya mewawancarai cendekiawan muda Nahdlatul Ulama, Zuhaeri Misrawi, atau akrab dipanggil Gus Mis. Selain lulusan Fakultas Ushuluddin, Univ. Al Azhar, Kairo, sepanjang lima tahun terakhir secara intensif dirinya juga meneliti Ahmadiyah di Indonesia. (Red). Ahmadiyah itu agama atau bukan? Zuhaeri Misrawi (MW): Ahmadiyah adalah salah stau sekte dalam Islam yang lahir pada akhir abad 19 di Qadian, India yang berbeda dengan Islam mainstream, terumata dari konteks sosial. Di mana saat itu Islam menghadpai tantangan imperealisme dan krisis solidaritas, dan lahirlah seorang pembaharu bernama Mirza Ghulam Ahmad. Sejauh pandangan saya, ada banyak persamaan antara kalangan Ahmadiyah dan Suni dalam hal-hal fundamental. Misalnya, rukun Islam dan Iman. Perbedaan hanya ada satu hal, yakni konsep kenabian. Menurut Ahmadiyah, nabi ada dua, nabi independen (mustaqil) yang menerima wahyu, dan harus dihormati. Dalam pandangan suni adalah rasul yang menerima risalah suci atau wahyu, seperti Musa, Daud, Isa, dan Muhammad. Selain nabi independen ada namanya nabi bayangan atau nabi ummati, yakni seorang nabi yang patuh kepada nabi independen. Dalam beberapa nubuat, ilham, atau pesan, yang diterima, Ghulam mengatakan dirinya sebagai nabi ummati, nabi yang taat kepada Nabi Muhammad dan menjalankan seluruh ajaran Nabi Muhammad. Kenapa disebut nabi? Karena dia mendapat ilham atau risalah bahwa dia itu Mesias, seorang penyelamat pada akhir zaman, kita tahu bahwa di kalangan mayoritas suni bahwa Mesias itu akan datang di akhir zaman, Imam Mahdi? YA. Kalangan Ahmadiyah percaya bahwa Imam Mahdi telah datang yang dipesonifikasikan sebagai Ghulam Ahmad. Itulah saya kira perbedaan yang terjadi antara orang-orang Ahmadiyah dengan kalangan umat Islam mainstream. Sebenarnya, kalau kita mau mencoba sedikit memahami dengan detil, dalam pandangan Suni, nabi ummati itu adalah ulama. Nabi itu ulama? Kalau dalam pandangan Suni itu ulama, kalau dalam pandangan Ahmadiyah itu nabi ummati. Ini hanya perbedaan istilah. Tidak menyangkut substansi. Masalahnya, dalam waktu yang sangat lama dalam perjalanan Ahmadiyah di Indonesia sejak tahun 1925 sampai sekarang, tidak terjadi dialog-dialog yang saling mendekatkan pemahaman di antara kelompok mainstream dan Ahmadiyah. Masing-masing mengklaim dirinya benar. Ahmadiyah menganggapnya paling benar, di pihak non-ahmadiyah yang menganggap dirinya benar dan memberikan stempel sesat kepada Ahmadiyah. Berarti sejak kedatangan Ahmadiyah ke indonesia sudah saling curiga ya? Pasti, karena itu perbedaan konteks sosial antara Islam Indonesia yang berkiblat ke Timur Tengah dan Ahmadiyah yang berkiblat ke India. Jadi ada dua konteks sosial. Sebenarnya tidak bisa dimungkiri ada pertarungan ideologi besar dalam internal islam sendiri antara mazab islam Arab dan mazab Islam India. Dialog di antara keduanya sudah sering dilakukan, tapi belum tuntas juga ya? I trust that what you've read so far has been informative. The following section should go a long way toward clearing up any uncertainty that may remain.
Kalau problem ini tidak dipecahkan selalu akan terjadi ketegangan lain antara kelompok mainstream dan kelompok-kelompok nonmainstream. Kalau problem tidak dipecahkan dan tidak ada kearifan dari kalangan mayoritas, nanti akan muncul masalah lain atas nama mayoritas kemudian menyesatkan kelompokj minoritas. Sekarang sudah mulai bermunculan pertumbuhan pengikut syiah di Indonesia, yang tdk hanya di Jakarta, tapi juga di Kalimantan, Makassar, pada umumnya di luar jawa. Kalau di Jawa didominasi oleh NU dan Muhamadiyah, sementara di luar Jawa lebih terbuka, NU dan Muhamadiyah belum jadi kultur. Sekarang sudah mulai ada kegelisahan terhadap kelompok Syiah, yang berbeda konteks sosiologisnya dan beberapa paham atau penafsiran terhadap Alquran dan hadis. Saya kira perlu dialog-dialog akademis yang intensif untuk memberikan pemahaman yang utuh terhadap eksistensi kelompok tertentu. Kemunculan sekte-sekte itu latar belakangnya apa? Dalam sejarahnya bahwa pemahaman terhadap agama itu sangat beragam, terikat dengan konteknya dan itu dihargai dalam Islam. Ini adalah realitas dan fundamen dalam islam sendiri. Oleh karena itu kalau kita mau serius mencermati ekspresi-ekspresi keberislaman yang terjadi di Indonesia sendiri, keberislaman Sulawesi dengan keberislaman dengan orang Tengger itu juga ada kekhasan dari keberagaman itu sendiri. Dari kacamata sosiologis itu sesuatu yang different. Harus diakui, keyakinan itu adalah proses yang tidak serta merta ada, tapi proses pergulatan yang panjang. Paham keislaman yang mampu beradaptasi dengan kebudayaan lokal itulah yang memungkinkan tumbuh dan besar, dan itu yang terjadi pada NU dan Muhamadiyah. Sementara Ahmadiyah datang ke Indonesia lebih awal dibanding lahirnya NU. Anda mau mengatakan Ahmadiyah tidak bisa beradaptasi dengan budaya lokal? Faktanya, kita tahu NU sekarang jumlahnya 60 juta, sementara Ahmadiyah antara 200 sampai 500 ribu. Itu artinya apa? Itu artinya bahwa sedang terjadi perebutan makna atau pemahaman terhadap agama dan itu sesuatu yang tak bisa dihindari. Seperti pada awal abad 21, kemudian datang kelompok-kelompok yang kita sebut ekstrimis dari Timur Tengah dan mereka dengan terbuka mengkamapenyekan fahamnya bahkan menebarkan kebencian kepada umat, dan mereka tidak berkembang. Bagaimana kita menyikapi faham-faham keagamaan itu? Pengembang-biakkan faham keagamaan akan terus hadir dan berkembang.Cara terbaik adalah mencoba untuk simpati, empati untuk kita jadikan sebagai cara kita untuk mendekatkan diri pada mereka atau bukan melakukan kekerasan kepada mereka. Apakah mazab-mazab itu sejak zaman sahabat juga sudah ada? Ya, kalau kita lihat dalam sejarah islam ada lebih 400 mashab. Artinya, ini adalah sebuah keniscayaan bahwa Islam bisa diinterpretasikan sesuai budaya masyarakat yang menerimanya? Ini adalah dampak dari Islam sebagai agama universal. Dalam quran disebut, "dan kami utus kamu ya Muhammad sebagai penebar kasih sayang." Artinya Islam itu bukan hanya tumbuh di Timur Tengah tapi juga di seleruh dunia. di India berkembang sebagai Qadian, di Persia ada Syiah, di Asia, Eropa dan Amerika. Ketika Islam menjadi agama universal, maka ekspresi2-ekspresi dalam bentuk mazab dan sekte adalah sesuatu bentuk keniscayaan, kita tidak mungkin membuat parameter tunggal terhadap Islam lalu mengatakan, ini yang paling absah dalam Islam. Ini yang terjadi pada masyarakat kita. bahwa pemahamah masyarakat terhadap Islam hanya bersifat tekstual dan tidak bersifat kontekstual sosiologis melihat bagaimana pengaruh-pengaruh sosial yang terjadi, ini akibat kita menjadikan Arab sebagai kiblat dalam beragama, mestinya kita mendudukan Arab sebagai salah satu parameter saja dan mencoba untuk memahami parameter-parameter lain, kasus Ahmadiyah ini kalau kita tak hati-hati, maka keberagaman islam di Indonesia akan punah, tidak bisa berkembang seperti hari ini, di mana islam beradaptasi atau berakulturasi dengan kebudayaan. Karenanya kita harus merumuskan dengan apa yang disebut Islam Nusantara, yakni islam yang berbeda dengan Islam yang ada di Arab. Gus Dur dulu merumuskan, Islam yang lebih mendekati kepada substansi ajaran Islam bukan pada aksesorisnya atau simbol-simbolnya, atau hukum-hukumnya. Substansi Islam itu kalau kita tarik keadilan, kedamian, kesetaraan, kebijaksanaan, kalau kita tarik akan memperkuat solidaritas di kalangan umat Islam sendiri dan umat agama lain, dan itu sesuai dengan misi kenabian yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
Kalau problem ini tidak dipecahkan selalu akan terjadi ketegangan lain antara kelompok mainstream dan kelompok-kelompok nonmainstream. Kalau problem tidak dipecahkan dan tidak ada kearifan dari kalangan mayoritas, nanti akan muncul masalah lain atas nama mayoritas kemudian menyesatkan kelompokj minoritas. Sekarang sudah mulai bermunculan pertumbuhan pengikut syiah di Indonesia, yang tdk hanya di Jakarta, tapi juga di Kalimantan, Makassar, pada umumnya di luar jawa. Kalau di Jawa didominasi oleh NU dan Muhamadiyah, sementara di luar Jawa lebih terbuka, NU dan Muhamadiyah belum jadi kultur. Sekarang sudah mulai ada kegelisahan terhadap kelompok Syiah, yang berbeda konteks sosiologisnya dan beberapa paham atau penafsiran terhadap Alquran dan hadis. Saya kira perlu dialog-dialog akademis yang intensif untuk memberikan pemahaman yang utuh terhadap eksistensi kelompok tertentu. Kemunculan sekte-sekte itu latar belakangnya apa? Dalam sejarahnya bahwa pemahaman terhadap agama itu sangat beragam, terikat dengan konteknya dan itu dihargai dalam Islam. Ini adalah realitas dan fundamen dalam islam sendiri. Oleh karena itu kalau kita mau serius mencermati ekspresi-ekspresi keberislaman yang terjadi di Indonesia sendiri, keberislaman Sulawesi dengan keberislaman dengan orang Tengger itu juga ada kekhasan dari keberagaman itu sendiri. Dari kacamata sosiologis itu sesuatu yang different. Harus diakui, keyakinan itu adalah proses yang tidak serta merta ada, tapi proses pergulatan yang panjang. Paham keislaman yang mampu beradaptasi dengan kebudayaan lokal itulah yang memungkinkan tumbuh dan besar, dan itu yang terjadi pada NU dan Muhamadiyah. Sementara Ahmadiyah datang ke Indonesia lebih awal dibanding lahirnya NU. Anda mau mengatakan Ahmadiyah tidak bisa beradaptasi dengan budaya lokal? Faktanya, kita tahu NU sekarang jumlahnya 60 juta, sementara Ahmadiyah antara 200 sampai 500 ribu. Itu artinya apa? Itu artinya bahwa sedang terjadi perebutan makna atau pemahaman terhadap agama dan itu sesuatu yang tak bisa dihindari. Seperti pada awal abad 21, kemudian datang kelompok-kelompok yang kita sebut ekstrimis dari Timur Tengah dan mereka dengan terbuka mengkamapenyekan fahamnya bahkan menebarkan kebencian kepada umat, dan mereka tidak berkembang. Bagaimana kita menyikapi faham-faham keagamaan itu? Pengembang-biakkan faham keagamaan akan terus hadir dan berkembang.Cara terbaik adalah mencoba untuk simpati, empati untuk kita jadikan sebagai cara kita untuk mendekatkan diri pada mereka atau bukan melakukan kekerasan kepada mereka. Apakah mazab-mazab itu sejak zaman sahabat juga sudah ada? Ya, kalau kita lihat dalam sejarah islam ada lebih 400 mashab. Artinya, ini adalah sebuah keniscayaan bahwa Islam bisa diinterpretasikan sesuai budaya masyarakat yang menerimanya? Ini adalah dampak dari Islam sebagai agama universal. Dalam quran disebut, "dan kami utus kamu ya Muhammad sebagai penebar kasih sayang." Artinya Islam itu bukan hanya tumbuh di Timur Tengah tapi juga di seleruh dunia. di India berkembang sebagai Qadian, di Persia ada Syiah, di Asia, Eropa dan Amerika. Ketika Islam menjadi agama universal, maka ekspresi2-ekspresi dalam bentuk mazab dan sekte adalah sesuatu bentuk keniscayaan, kita tidak mungkin membuat parameter tunggal terhadap Islam lalu mengatakan, ini yang paling absah dalam Islam. Ini yang terjadi pada masyarakat kita. bahwa pemahamah masyarakat terhadap Islam hanya bersifat tekstual dan tidak bersifat kontekstual sosiologis melihat bagaimana pengaruh-pengaruh sosial yang terjadi, ini akibat kita menjadikan Arab sebagai kiblat dalam beragama, mestinya kita mendudukan Arab sebagai salah satu parameter saja dan mencoba untuk memahami parameter-parameter lain, kasus Ahmadiyah ini kalau kita tak hati-hati, maka keberagaman islam di Indonesia akan punah, tidak bisa berkembang seperti hari ini, di mana islam beradaptasi atau berakulturasi dengan kebudayaan. Karenanya kita harus merumuskan dengan apa yang disebut Islam Nusantara, yakni islam yang berbeda dengan Islam yang ada di Arab. Gus Dur dulu merumuskan, Islam yang lebih mendekati kepada substansi ajaran Islam bukan pada aksesorisnya atau simbol-simbolnya, atau hukum-hukumnya. Substansi Islam itu kalau kita tarik keadilan, kedamian, kesetaraan, kebijaksanaan, kalau kita tarik akan memperkuat solidaritas di kalangan umat Islam sendiri dan umat agama lain, dan itu sesuai dengan misi kenabian yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar