Gregorius Magnus Finesso dan Sri Rejeki
KOMPAS.com " Bertani,bagi Daldiri (67), kini tak ubahnya bak perjudian. Bekal ilmu bercocoktanam ataupun strategi menaksir cuaca tak bisa lagi diandalkan. Cuacaekstrem dan merebaknya hama membuat bulir-bulir padi di sawah petanihampa. Di tengah harga gabah yang tak berpihak kepada petani, ia merasadimiskinkan. Saya sampai tak bangga lagikalau ada yang menyebut saya ini Pak Tani. Beda dengan 30-an tahun lalusaat banyak orang naik haji dari hasil bertani. Sekarang, untuk memenuhikebutuhan sehari-hari, saya lebih sering utang kepada tengkulak, tuturpetani di Desa Pesawahan, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas, JawaTengah, itu, Selasa (22/2/2011). Saat ditemui, Daldiri sedang menanam benih padi di sawah seluas setengah bau atau 3.548 meter persegi (m) miliknya (1 bau sama dengan 7.096 meter persegi atau sekitar 0,7 hektar). Masalahharus utang agar bisa menanam rupanya makin banyak dialami kaum tani.Dono (65), petani di Dusun Mojorejo, Laban, Sukoharjo, Jateng, misalnya.Ini ikhtiar kami sebagai petani, tetap bertanam. Coba-coba siapa tahunasib baik meski harus berutang. Utang saya masih tersisa Rp 1 juta danbelum bisa saya lunasi sampai sekarang, kata Dono yang baru sajamenyemprot tanaman padinya dengan pestisida. Sebelum pulang, iasempatkan juga mencari rumput untuk pakan sapinya. Meski sudah tiga kaligagal panen, Dono tak kapok kembali menanam padi. Bertani terpaksadijalani meski terpaksa berutang untuk membeli pupuk serta ongkos tanamdan membajak. Dono mengaku dapat pinjaman dari seseorang. Darijumlah utang Rp 1 juta, ia harus mencicil Rp 100.000 per bulan selama 12kali. Selama tidak ada pemasukan karena padinya gagal panen akibatserangan wereng, serta virus kerdil hampa dan kerdil rumput, Dono bekerjaserabutan untuk menutup kebutuhan hidup sehari-hari, seperti menjadiburuh bangunan. Upah Rp 25.000 per hari digunakan untuk makan Rp 15.000 dan disimpan untuk membayar cicilan Rp 10.000. Donobercerita, sekarang ini biaya garap untuk satu musim tanam mencapai Rp 2juta untuk satu patok lahan seluas 5.500 meter. Jika panen bagus, petanibisa memperoleh Rp 10 juta-Rp 12 juta. Sukimin, petani di DesaWirun, Mojolaban, Sukoharjo, mengakui, bertanam padi dalam kondisi saatini rentan terhadap serangan wereng coklat serta virus kerdil hampa dankerdil rumput. Itu sebabnya bertani mirip orang berjudi. Nikiseparone kados wong lotere. Wong tani wis mblenger (Setengahnya kami iniseperti berjudi. Petani sudah muak) karena gagal terus. Rata-ratapetani pasti punya utang untuk modal tanam, kata Sukimin. I trust that what you've read so far has been informative. The following section should go a long way toward clearing up any uncertainty that may remain.Itusebabnya tak semua petani masih bersemangat seperti Dono. Ada yangmenyerah, membiarkan sawah terbengkalai karena kehabisan modal,sebagaimana dialami petani Dusun Menggungan, Desa Telukan, KecamatanGrogol, Sukoharjo. Para petani di sana memilih menjadi buruh tani, buruhbangunan, atau mencari buah-buahan dari kampung dan dijual lagi kepasar. Kesulitan hidup yang dihadapi Daldiri mirip dengan Dono danSukimin. Saat waktu ashar tiba, Daldiri menepi ke pematang sawah danmereguk teh pahit yang dibawa Mufaridah (6), cucunya. Lebih dari40 tahun, Daldiri bercucur keringat di sawah. Ayah lima anak dan kakektujuh cucu itu dulu seorang juragan tani di desanya. Luas sawahnya padamedio 1980-an bahkan mencapai 5 hektar (ha). Jumlah yang sangat banyakdibandingkan dengan rata-rata petani di eks Karesidenan Banyumas yangkepemilikan lahannya saat ini hanya 0,25 ha hingga 0,5 ha. Banyakpetani kaya saat itu. Bahkan, karena masih banyak lumbung padi, kamibiasa menyimpan sebagian hasil padi untuk dijual lagi saat harga tinggi.Namun, sekarang semuanya diatur tengkulak, kata Daldiri. Daldiriingat betul, 15 tahun lalu, 1 bau sawah miliknya masih menghasilkangabah 5 ton. Namun, 5 tahun terakhir, produktivitas sawah menyusut jadi 3ton. Penyebabnya serangan hama wereng batang coklat dan tikus yang kianganas. Musim tanam hujan yang dimulai September lalu pun, ia sampai tiga kali tanam ulang karenabenih padi yang sudah ditanam diserang wereng saat berumur 25 hari.Saat musim panen rendeng ini, Daldiri menjual gabahnya Rp 2.400 perkilogram. Dari 3.500 meter sawah miliknya, Daldiri mengaku hanya merauppendapatan sekitar Rp 3,2 juta. Namun, ia harusmenyisihkan Rp 1,5 juta untuk modal tanam musim selanjutnya. Selain itu,ia juga harus membayar Rp 700.000 ke kios, koperasi unit desa, danrentenir untuk menutup utang pupuk, pestisida, dan ongkos bajak. Sisanyahanya Rp 1 juta. Artinya, pendapatan Daldiri selama bertani padaSeptember-Januari hanya Rp 250.000 per bulan. Kondisi inilah yangmembuat Daldiri dan Saniyem (63), istrinya, menjual satu per satu petaksawah mereka sejak 10 tahun terakhir. Mereka bahkan hanya bisa membagisawah 1 hektar sebagai warisan kepada lima anaknya masing-masing seluas2.000 meter persegi. Kini sisa utang saya masih Rp 7 juta. Semoga bisadilunasi sebelum saya meninggal, katanya. Pemiskinan serupadialami Guyub Winaryo (54), petani di Desa Sukawera Kidul, KecamatanPatikraja, Banyumas. Pada 1980-an, setiap kali panen, orangtua sayaselalu membeli emas dan sawah baru. Dulu, untuk membeli emas 3 gramhanya butuh gabah 1 kuintal. Sekarang 1 kuintal gabah belum bisa beli 1gram (asumsi harga emas Rp 330.000 per gram), katanya. Setelahera pertanian pupuk kimia, tabiat tanah pun berubah tak ramah. Iklimekstrem kini membuyarkan irama alam yang pemurah. Hama mengganas takterbasmi, sedangkan biaya produksi kian tinggi....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar