Kamis, 21 April 2011

"Kartini" di Ladang Emas Poboya

Dalam dunia sekarang ini, tampaknya hampir semua topik terbuka untuk diperdebatkan. Sementara aku sedang mengumpulkan fakta untuk artikel ini, saya cukup terkejut menemukan beberapa masalah yang saya pikir diselesaikan sebenarnya masih dibicarakan secara terbuka.
 Oleh R. Maruto

Setiap hari, dari pukul 06.00 hingga 18.00 Wita mereka harus naik-turun bukit setinggi 100 meter dengan sudut kemiringan hampir 45 derajat. Martil seberat lima kilogram harus melekat di genggamannya untuk memecah bebatuan mengandung emas.

Terik matahari tidak dirasakan lagi karena terbayang tumpukkan rupiah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, meski harus rela meninggalkan anak dan keluarga.

Itulah sedikit gambaran belasan pekerja wanita di pertambangan emas tradisional Poboya, di pinggiran Kota Palu, Ibu Kota Sulawesi Tengah.

Eka, perempuan berusia 36 tahun ini, harus rela meninggalkan tiga anaknya untuk menempuh perjalanan sekitar 17 kilometer dari rumahnya menuju pertambangan emas Poboya.

Eka yang enggan menyebutkan nama lengkapnya ini mengaku harus memecah bebatuan emas, kemudian dijual ke pengumpul yang sudah setia menunggunya di kaki bukit.

Setiap hari, rata-rata, dia bisa mengumpulkan 13 karung berisi bebatuan mengandung emas. Satu karung beratnya 50 kilogram.

Dari setiap karung berisi penuh batuan emas, Eka mengaku memdapat penghasilan bersih Rp8.000,00.

Sebenarnya, harga setiap karung batuan emas berkisar Rp12.000,00 hingga Rp14.000,00 tergantung kualitas batu.

Dari harga itu, Eka harus merelakan Rp3.000,00 per karung untuk upah kuli angkut yang membawa karung turun ke kaki bukit.

Selain itu, dia harus mengeluarkan modal Rp2.000,00 untuk membeli sebuah karung. "Lumayan untuk menambah penghasilan suami yang hanya kerja sebagai kuli bangunan," kata Eka saat  ditemui sedang mengisi karung dengan batu belum lama ini.

Menurut dia, pekerjaan suaminya yang hanya sebagai kuli bangunan belum bisa mencukupi kebutuhan hidup dengan tiga anaknya. "Belum lagi untuk bayar kos sebesar Rp300 ribu per bulan," katanya.

Eka sudah menjalani rutinitas sebagai pemecah batu di Poboya sejak dua tahun lalu.

Pikirkan tentang apa yang telah Anda baca sejauh ini. Apakah itu memperkuat apa yang sudah Anda ketahui tentang
? Atau ada sesuatu yang sama sekali baru? Bagaimana dengan paragraf yang tersisa?

Sebelumnya, Eka hanya seorang penjaja kue keliling di kaki bukit Poboya untuk melayani pekerja tambang yang sedikit lapar.

Seorang teman mengajaknya untuk mencari batuan emas dengan penghasilan menggiurkan.

Setiap bulan Eka mengaku mendapat penghasilan mencapai Rp4 juta. "Kalau hanya menjual kue paling kuat hanya dapat Rp1 juta per bulan. Belum lagi dipotong kue yang basi," katanya.

Saat ini di pertambangan emas tradisional Poboya diperkirakan terdapat sekitar 14 pekerja wanita yang harus bekerja keras membantu perekonomian keluarga.

Alasan mereka bekerja di medan panas dan terjal ini adalah faktor ekonomi.

Nur, misalnya, dia mengaku suaminya tidak mampu menopang kebutuhan hidup keluarga karena hanya bekerja sebagai buruh kasar di sebuah pasar yang penghasilannya tidak tentu.

Ditanya kenapa suaminya tidak bekerja di tambang, perempuan berusia 36 tahun ini hanya menjawab ringan. "Yah... beginilah hidup," katanya sambil menghela nafas.

Pekerjaannya di bukit Poboya sama dengan yang dilakukan kaum pria lainnya. Kepalanya ditutupi kerudung dari kaos tak terpakai sehingga yang kelihatan hanya bagian wajah.

Kaos lengan panjang dan sarung tangan putih yang warnanya sudah menjadi coklat senantiasa dia pakai. Celana "training" dan sepatu beda warna dia pakai agar tidak panas atau tersandung batu.

Nur mengaku tidak menemui hambatan bekerja selama hampir dua tahun dia bekerja di Poboya, meski di sekelilingya terdapat ratusan kaum Adam yang juga berprofesi serupa.

Penambang emas tradisional di Poboya saat ini berjumlah sekitar 8.000 orang yang berasal dari berbagai daerah, seperti Sulawesi Barat, Gorontalo, Manado, dan Pulau Jawa.

Para pekerja itu mulai memadati lokasi pertambangan Poboya sejak tiga tahun lalu.

Sementara itu, Ancha, pekerja wanita lainnya sebenarnya enggan bekerja di Poboya, mengingat resiko kecelakaan kerja yang bisa terjadi kapan saja.

Longsoran batu atau terpeleset bisa terjadi kapan saja, mengingat untuk menaiki bukit hanya dengan terdapat jalan setapak. Sementara di ketinggian lainnya di bukit yang sama terdapat ratusan orang sedang memecah batu, longsoran batu bisa terjadi kapan saja.

"Namanya, juga berusaha demi keluarga. Saya harus hadapi risiko itu," kata Ancha, yang sudah bekerja di Poboya selama hampir satu tahun. 

Ada banyak mengerti tentang
. Kami dapat menyediakan Anda dengan beberapa fakta di atas, tetapi masih ada banyak lagi untuk menulis tentang dalam artikel berikutnya.

Tidak ada komentar: