Minggu, 17 April 2011

Perempuan-perempuan Rangkasbitung

Ketika kebanyakan orang berpikir tentang
, apa yang terlintas dalam pikiran adalah biasanya informasi dasar yang tidak terlalu menarik atau bermanfaat. Tapi ada lebih banyak untuk
dari sekadar dasar.

Budi Suwarna dan Aryo Wisanggeni

Beragamkisah bisa dikumpulkan dari lintasan kereta api. Di sini banyakperempuan perkasa berjuang untuk hidup. Siapa nyana, merekalah penopanggairah konsumsi warga metropolitan. Junaesih (44)terlihat lelah. Maklum, ketika hari masih gelap, Esih, begitu diadisapa, sudah harus berangkat dari rumahnya di pojok Desa Cicayur,Tangerang, ke Pasar Palmerah, Jakarta Pusat. Ini bukan perjalanan mudah.Dia berjalan kaki seorang diri di jalan tanah berbatu sejauh kira-kira 2kilometer sambil menggendong sekarung daun singkong. Tujuannya selalusama: Stasiun Cicayur.

Sesampainya di stasiun, Esih berjibakuuntuk mendapat sejengkal ruang di Kereta Api Ekonomi Langsam yang akanmembawanya ke Pasar Palmerah. Kereta itu setiap hari dipenuhi penumpangdan karung-karung berisi hasil pertanian dari Rangkasbitung.

Satujam perjalanan, Esih tiba di Stasiun Palmerah. Dari situ, dia langsungmenuju pasar dan menggelar dagangannya di pinggir jalan: sekarung daunsingkong, tidak lebih tidak kurang. Pukul 09.00, dia kembali ke rumahnyadi Cicayur dengan kereta yang sama.

Begitulah lakon hidup Esihdua tahun terakhir. Dari usahanya, perempuan yang ditinggal begitu sajaoleh suaminya tersebut hanya memperoleh uang Rp 15.000-Rp 20.000 sehari.Sebanyak Rp 5.000 dia gunakan untuk modal membeli daun singkong dikebun tetangga dan Rp 3.000 untuk ongkos kereta pulang-pergi. Sisanya,Rp 7.000-Rp 12.000 hanya cukup untuk makan Esih dan tiga anaknya.

Esihsetiap hari berjibaku bersama ratusan perempuan pedagang sayur agarbisa terangkut kereta ekonomi. Namun, kisah mereka tidak semuanyanelangsa. Di antara mereka ada yang bermodal cukup besar. Nanik (60),misalnya, setiap hari memutar uang Rp 2,5 juta-Rp 3 juta untuk bisnisbuah dan sayur-mayur. Hasilnya cukup untuk membantu sembilan anaknyayang hidupnya belum mapan dan memberi jajan enam cucunya.

Minggu(10/4) siang, perempuan itu mengerahkan beberapa kuli stasiun untukmengangkut 24 karung belanjaannya ke gerbong kereta ekonomi di StasiunRangkasbitung. Sebagian karung ditumpuk setinggi 1,5 meter di bordesgerbong. Sebagian lagi diletakkan di dalam gerbong. Praktis,karung-karung itu menutup hampir seluruh pintu masuk gerbong.

Beberapapenumpang yang terhalang gerakannya mengomel. Tapi, Nanik seolah tidakpeduli. Saya sudah biasa dengar omelan macam begitu. Cuek sajalah,katanya sambil mengibaskan tangan untuk mengusir gerah.

Nanik mengatakan, belanjaannya hari itu lebih sedikit dibandingkandengan biasanya. Pasalnya, pasokan buah dan sayur-mayur dariRangkasbitung belakangan ini berkurang. Itu sebabnya, Nanik berniatberburu belanjaan lain di beberapa stasiun yang dilewati.

Ketikakereta berhenti di Stasiun Citeras, Nanik"yang semula dudukmanis"bangkit dan bergegas menuju jendela. Dia kemudian berteriak kepadaorang di luar kereta, Heiii... ada sereh enggak?

Anda dapat melihat bahwa ada nilai praktis dalam mempelajari lebih banyak tentang
. Dapatkah Anda memikirkan cara-cara untuk menerapkan apa yang telah dibahas sejauh ini?

Distasiun itu, sebagian makelar hasil kebun naik ke kereta. Merekamenawarkan hasil kebun apa pun yang bisa dibawa. Dari mereka, Ngapiah(51) memperoleh tujuh jantung pisang, delapan kunur(semacam labu), dan sekantong kencur. Lumayan barang dagangan sayabertambah, ujar Ngapiah, yang sebelumnya telah membawa tiga karungsayur-mayur dan pisang dari Rangkasbitung.

Sesampai di StasiunKebayoran Lama, sebagian besar tumpukan karung milik para pedagang sayuritu diturunkan di atas rel. Udara pengap dan gerah di dalam gerbongberkurang seketika. Ngapiah juga turun di sana. Selanjutnya, dia membukalapak sayur-mayur 50 cm dari pinggir rel kereta.

Penopang metropolitan

Sebagianperempuan itu adalah pendatang yang tersedot oleh pesona Ibu Kota.Nanik datang dari Surabaya ke Jakarta ketika usianya 12 tahun.Selanjutnya, dia menikah tiga kali dan menetap di Citeras. Sepertibanyak pendatang di sepanjang jalur Rangkasbitung-Jakarta, pergulatanhidup mereka tak jauh-jauh dari kereta. Bersama suaminya, Nanik memasokbuah dan sayur kepada pedagang di Kebayoran Lama, Palmerah, dan Angke.Setelah suaminya meninggal, usaha itu dia jalankan sendirian.

Sejak dulu sampai sekarang diabergantung pada kereta. Alasannya hanya satu: kereta ekonomi murahmeriah. Bawa karung sebanyak ini hanya mengeluarkan duit Rp 200.000untuk tiket, bayar ke petugas kereta, dan bayar ongkos kuli angkut,ujarnya.

Kalau pakai mobil sewa, dia harus mengeluarkan uang Rp 300.000, belum termasuk bayar tol. Keuntungan saya pasti berkurang.

Esihbahkan tidak bisa mencari nafkah tanpa kereta. Bayangkan saja, setiaphari dia hanya memperoleh Rp 15.000-Rp 20.000 dari jualan sayur diPalmerah. Ongkos kereta api pulang-pergi hanya Rp 3.000. Kalau pakaiangkot, bisa habis Rp 10.000. Semua duit saya langsung habis, katanya.

RuthIndiah Rahayu, peneliti Inkrispena dan aktivis perempuan dariPerhimpunan Rakyat Pekerja, melihat bahwa dalam skala rumah tangga,peran ekonomis perempuan pedagang sayur dari Rangkasbitung itu tergolongtinggi. Mereka menunjang ekonomi harian keluarga untuk bertahan hidup.

Namun,dalam skala ekonomi makro, peran mereka dilupakan. Pasalnya, hitunganekonomi makro mengasumsikan penghasilan keluarga selalu berasal darisuami.

Dalam konsepsi geografi-politik metropolitan Jabodetabek, mereka juga memiliki peran cukup penting. Mereka adalah agensi yang menghubungkan metropolitan sebagai pusat tumpukan barang dengan daerah produsen pertanian. Lewat mereka pula, konsumsi harian warga metropolitan bisa ditopang.

Semoga bagian di atas telah berkontribusi untuk pemahaman Anda tentang
. Berbagi pemahaman baru Anda tentang
dengan orang lain. Mereka akan berterima kasih untuk itu.

Tidak ada komentar: